Hari Raya ‘Iedul Fitri | kaf-artwork.blogspot.com
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha serta malam 27 Rajab, Nishfu (pertengahan) Sya’ban, dan hari ‘Asyura?
Beliau rahimahullah menjawab:
Tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari-hari ‘Ied seperti ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha selama dalam batas-batas syar’i. Di antaranya seseorang makan dan minum atau yang semisalnya. Telah tsabit (pasti) dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits beliau:
أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشَرْبٍ، وَذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, dan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala“, yaitu dalam tiga hari setelah ‘Iedul Adha yang barakah.
Demikian pula pada hari ‘Ied, kaum muslimin menyembelih dan memakan qurban mereka serta menikmati nikmat Allah atas mereka. Dan juga pada hari ‘Iedul Fitri, tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan selama tidak melampaui batasan syar’i.
Sedangkan menampakkan kegembiraan pada malam 27 Rajab atau Nishfu Sya’ban atau di hari ‘Asyura, maka hal tersebut tidak ada asalnya dan dilarang (merayakannya). Dan apabila diundang untuk merayakannya, hendaknya tidak menghadirinya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara baru (yang diada-adakan), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di an-naar.”
Adapun malam 27 Rajab, orang-orang mengatakannya sebagai malam Mi’raj, yaitu malam di-mi’raj-kannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Allah. Padahal hal ini tidak tsabit (tidak benar) dari sisi sejarah. Dan segala sesuatu yang tidak tsabit maka batil, dan setiap yang dibangun di atas kebatilan maka batil (juga).
Seandainya pun benar bahwa malam Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, maka kita dilarang untuk mengadakan sesuatu yang baru berupa syi’ar-syi’ar ‘Ied ataupun sesuatu dari perkara ibadah, karena hal itu tidak tsabit dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari shahabatnya. Apabila tidak tsabit dari orang yang di-mi’raj-kan (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan juga tidak tsabit dari shahabatnya, yang mereka lebih utama dalam hal ini dan paling bersemangat terhadap Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan syariatnya, maka bagaimana mungkin kita boleh mengada-adakan sesuatu yang tidak ada di masa Nabi r, dalam memuliakan hari-hari tersebut dan tidak pula dalam menghidupkannya? Dan sesungguhnya sebagian tabi’in menghidupkannya dengan shalat dan dzikir, bukan dengan makan dan bergembira serta menampakkan syiar-syiar ied.
Adapun hari ‘Asyura, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari itu, maka beliau menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْماَضِيَةَ
“Menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu,” yakni setahun sebelum hari itu.
Dan tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied sedikit pun pada hari tersebut. Sebagaimana halnya pada hari tersebut tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied, maka tidak ada pula syi’ar-syi’ar kesedihan pula sedikit pun. Menampakkan kegembiraan atau kesedihan pada hari tersebut merupakan perbuatan yang menyelisihi As Sunnah. Dan tidak diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (mengenai amalan) pada hari itu kecuali puasa, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, untuk menyelisihi Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja.
(Diambil dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, juz 16 bab Shalatul ‘Iedain).
asysyariah.com
0 komentar: