Syukuri Rezeki | kaf-artwork.blogspot.com
Perhatikanlah lingkungan sekitar Anda! Pasti Anda akan dapati perbedaan tingkat kehidupan orang-orangnya.
Ada yang kaya raya, punya rumah mewah, kendaraan berderet bak
showroom di garasinya. Uangnya jangan ditanya, perhiasannya pun membuat
mulut kita menganga. Sementara itu, makanan yang tersaji di meja
hidangannya membuat kita geleng-geleng kepala. Dia bisa bepergian ke
mana dia suka, berlibur dari satu negara ke negara lain adalah hal yang
biasa.
Anda dapati ada lagi si miskin papa,
berumah reyot dengan dinding hampir roboh, berpakaian kusam dan penuh
tambalan, makan cukup dengan sepotong tempe atau krupuk.
Yang lebih prihatin ada lagi, mereka
yang Anda lihat menggelandang di emperan, tidur di atas tanah berhampar
koran, langit yang menjadi atap. Tak terbayang dingin menusuk saat malam
tiba, apatah lagi ketika hujan turun sementara tubuh mereka
hanya dibungkus pakaian yang compang-camping. Makan hanya dengan
mengharap belas kasih orang-orang. Makanan basi penghuni tong sampah
tidak ditolak sebagai pengganjal perut daripada harus menanggung
sakitnya rasa lapar. Sungguh mengenaskan!
Ada lagi yang hidupnya pertengahan, tidak kaya berlebihan, tidak pula kekurangan.
Bisa jadi, pernah terpikir di benak
Anda, mengapa harus ada si miskin dan si kaya? Si ‘papa’ dan si
konglomerat? Mengapa manusia tidak disamakan saja rezekinya?
Jawabannya, Allah ‘azza wa jalla ar-Razzaq,
Dzat yang memberikan rezeki dan membagi-baginya di antara para
hamba-Nya, memiliki hikmah yang tinggi dalam penciptaan, dalam
melapangkan dan menyempitkan rezeki para hamba-Nya. Dia memiliki hikmah
yang agung dalam hukum dan penetapan syariat. Seluruh hukum syariat-Nya
adil, penuh rahmat dan sarat hikmah, serta memberi kemaslahatan bagi
para hamba di dunia dan akhirat mereka.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠
“Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50)
Dia Maha Terpuji dalam pemberian-Nya
kepada para hamba dan Maha Terpuji pula ketika Dia menahan
pemberian-Nya. Kewajiban para hamba adalah mensyukuri-Nya ketika Dia
memberi kelapangan rezeki kepada mereka disertai dengan menunaikan apa
yang diwajibkan-Nya kepada mereka dalam rezeki tersebut.
Sebaliknya, para hamba wajib bersabar dengan takdir Allah ‘azza wa jalla ketika Dia menyempitkan rezeki mereka. Allah ‘azza wa jalla lebih tahu apa yang paling bermaslahat bagi mereka daripada diri mereka sendiri. Allah ‘azza wa jalla lebih sayang kepada mereka daripada sayangnya ibu dan ayah kandung mereka.
Allah ‘azza wa jalla memang
tidak menyamakan pembagian rezeki di antara para hamba-Nya. Ada yang
dilapangkan dan ada yang disempitkan karena hikmah-Nya yang agung dan
bernilai tinggi.
Berikut ini kita petikkan apa yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam sebuah khutbah beliau yang tersimpan dalam kitab adh- Dhiya’u al-Lami’ min al-Khuthab al-Jawami’ (1/169—171) tentang hikmah pembagian rezeki yang berbeda-beda.
Allah ‘azza wa jalla membagi rezeki tidak sama di antara para hamba-Nya, agar mereka mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla
lah yang mengatur seluruh urusan. Di tangan-Nya lah penguasaan dan
pengaturan langit serta bumi. Dia melapangkan rezeki sebagian hamba-Nya
dan menyempitkan sebagian yang lain. Tidak ada yang bisa menolak takdir
dan ketetapan-Nya.
لَهُۥ مَقَالِيدُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ إِنَّهُۥ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ١٢
“Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan
langit dan bumi. Dia melapangkan rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (asy-Syura: 12)
Allah ‘azza wa jalla membedakan
pembagian rezeki-Nya agar manusia mengambil pelajaran dengan adanya
perbedaan di dunia ini tentang adanya perbedaan derajat di akhirat
kelak.
Di dunia ini manusia berbeda-beda penghidupannya. Di antara mereka ada yang tinggal di istana megah nan
menjulang, menaiki kendaraan yang mewah dan mahal, berbolak-balik dalam
kebahagiaan dan kesenangan di tengah-tengah harta, keluarga, dan
anak-anaknya. Di antara mereka ada yang tidak memiliki tempat bernaung,
tidak ada keluarga, tidak ada harta, tidak ada anak, hidup sebatang
kara. Di antara mereka ada yang pertengahan, di antara itu dan ini,
dengan derajat yang berbeda.
Demikian pula derajat di akhirat kelak, lebih besar, lebih nyata, dan lebih kekal.
ٱنظُرۡ كَيۡفَ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ وَلَلۡأٓخِرَةُ أَكۡبَرُ دَرَجَٰتٖ وَأَكۡبَرُ تَفۡضِيلٗا ٢١
“Perhatikanlah bagaimana Kami
lebihkan sebagian dari mereka di atas sebagian yang lain. Dan pasti
kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.”
(al-Isra: 21)
Apabila sepeti itu keadaan akhirat
dibandingkan dengan dunia, sepantasnya manusia berlomba-lomba untuk
meraih derajat yang tinggi di kehidupan yang lebih kekal abadi, yaitu
negeri akhirat. Orang yang cerdas tentu mendambakan yang lebih kekal.
Untuk perlombaan inilah orang-orang yang cerdas rela berlomba, tidak
untuk dunia!
Allah ‘azza wa jalla membagi
rezeki dengan berbeda-beda, agar orang yang kaya dapat menghargai kadar
nikmat yang dimudahkan kepadanya. Dia pun bersyukur kepada Dzat Yang
Memberikan nikmat sehingga tergolong hamba-hamba yang bersyukur.
Sebaliknya, orang yang fakir mengetahui
ujian yang diterimanya berupa kefakiran, lalu bersabar sehingga mencapai
derajat hamba-hamba yang bersabar. Telah diberitakan bahwa orang yang
bersabar akan beroleh pahala tanpa batas.
Bersamaan dengan kesabarannya, si fakir
harus terus memohon kemudahan kepada Rabbnya dan menanti kelapangan
dari-Nya tanpa pernah berputus asa dari rahmat-Nya.
Allah ‘azza wa jalla
membagi-bagi rezeki-Nya agar tercapai maslahat agama dan dunia para
hamba-Nya. Andai semuanya beroleh kelapangan rezeki dan menjadi orang
kaya, niscaya manusia akan melampaui batas di muka bumi dengan berbuat
kekafiran, kezaliman, dan kerusakan. Kelapangan dan kemudahan hidup
membuat mereka lupa diri.
Sebaliknya, apabila semua mereka
disempitkan rezekinya dan semua menjadi orang miskin, niscaya akan
timbul ketimpangan dalam tatanan hidup mereka.
Apabila semua manusia rezekinya sama,
niscaya sebagiannya tidak bisa menjadikan sebagian yang lain sebagai
ejekan, sehingga tidak ada ujian sebagai tempaan keimanan. Sebagiannya
tidak bisa menjadikan yang lain sebagai pekerja. Sebagiannya tidak
menjadi pelayan bagi yang lain. Yang satu tidak membuat sesuatu untuk
yang lain, karena semuanya berderajat sama.
Apabila seperti itu keadaannya, di mana
rasa kasih sayang si kaya terhadap si miskin? Andai semua berderajat
sama, bagaimana penerapan menyambung silaturahmi dengan menginfakkan
harta kepada karib kerabat?
Jelas sekali, banyak kemaslahatan akan
hilang seandainya manusia sama rezekinya. Karena itulah, wajib bagi kita
kaum muslimin untuk ridha Allah ‘azza wa jalla sebagai Rabb kita, ridha dengan pembagian rezeki-Nya, ridha dengan hukum-Nya, serta beriman dengan hikmah dan rahasia-Nya.
ٱللَّهُ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٦٢
“Allah-lah yang melapangkan rezeki
bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia pula
yang menyempitkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (al-Ankabut: 62)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
0 komentar: