Janabah [Bagian 1]

Janabah | kaf-artwork.blogspot.com 

Junub secara bahasa merupakan lawan dari qurb dan qarabah yang bermakna dekat, sehingga junub artinya jauh. Istilah junub secara syar’i, diberikan kepada orang yang mengeluarkan mani atau orang yang telah melakukan jima’. Orang yang demikian dikatakan junub dikarenakan menjauhi dan meninggalkan apa yang dilarang pelaksanaannya oleh syariat dalam keadaan junub tersebut. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 16/47)

Dalam pembicaraan tentang janabah dan seorang yang junub, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:

Perkara yang Tidak Dibolehkan bagi Seorang yang Junub

1. Shalat
Haram bagi seorang yang junub untuk melakukan shalat, baik shalat wajib ataukah shalat sunnah/ nafilah. Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat, sedangkan orang yang junub tidak dalam keadaan suci. Oleh karena itu, Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan orang yang junub untuk bersuci dalam firman-Nya:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Jika kalian junub maka bersucilah.” (Al-Maidah: 6)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.”1

Demikian ijma’ ahlul ilmi. Al-Imam Ibnul Qaththan rahimahullahu berkata:
“Ahlul ilmi tidak berbeda pendapat tentang tidak sahnya shalat seseorang yang junub, sampai ia bersuci.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/97)

2. Thawaf di Baitullah
Orang yang sedang junub tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah, baik thawaf yang wajib atau nafilah. Karena thawaf itu semakna dengan shalat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ، فَأَقِلُّوا مِنَ الْكَلاَمِ

“Thawaf di Baitullah itu shalat maka hendaklah kalian mempersedikit berbicara saat thawaf.”2

Dalam riwayat At-Tirmidzi:

الطَّوَافُ حَوْلَ الْبَيْتِ مِثْلُ الصَّلاَةِ، إِلاَّ أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُوْنَ فِيْهِ، فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيْهِ فَلاَ يَتَكَلَّمُوْنَ إِلاَّ بِخَيْرٍ

“Thawaf di sekitar Baitullah itu seperti shalat, hanya saja kalian dibolehkan berbicara saat thawaf. Siapa yang berbicara saat thawaf, maka janganlah ia berbicara kecuali kebaikan.”3

Sehingga bila ada seseorang thawaf dalam keadaan junub, thawafnya tersebut tidaklah sah. Demikian pendapat madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Adapun menurut madzhab Hanafiyyah, thawafnya tersebut sah namun ia wajib menyembelih badanah (unta atau sapi), karena thaharah dalam thawaf menurut mereka bukanlah syarat tapi hanyalah kewajiban. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 16/52, Al-Majmu’ 2/178, Adz-Dzakhirah, karya Al-Imam Al-Qarafi 3/339, Jami’ Fiqhil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah 1/303)

3. Berdiam di masjid
Ulama terbagi dalam tiga pendapat tentang hukum orang yang junub masuk ke dalam masjid:

1. Melarang sama sekali, walau hanya sekedar lewat. Demikian pendapat Al-Imam Malik, Abu Hanifah dan pengikutnya (Al-Mudawwanah Al-Kubra 1/137, Adz Dzakhirah 1/314, Nailul Authar 1/321). Namun, wallahu a’lam, kami tidak mengetahui adanya dalil yang melarang secara mutlak bagi orang junub untuk masuk ke dalam masjid walau hanya sekedar lewat, kecuali hadits:

لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ

“Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan tidak pula bagi orang yang junub.”4

Dan hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama, di antaranya Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Hadits ini batil.” (Irwa`ul Ghalil 1/162)

2. Melarang, namun dibolehkan bila hanya sekedar lewat, tidak berdiam di dalam masjid. Demikian pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ahlul ilmi, baik ia punya kebutuhan untuk lewat atau tidak. Sedangkan Al-Imam Ahmad mensyaratkan boleh lewat bila ada kebutuhan. Kebolehan lewat ini dinukilkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ibnul Musayyib, Ibnu Jubair dan Al-Hasan. (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, bab Mamarril Junub wal Musyrik ‘alal Ardhi wa Masyihima ‘alaihima, Al-Majmu’ 2/178,184, Al-Mughni pasal Hukmi Labtsil Junub wal Haidh fil Masjid, Ar-Raudhul Murbi’ 1/60, Asy-Syarhul Mumti’ 1/227, Nailul Authar 1/320)

3. Membolehkan secara mutlak, lewat ataupun berdiam di masjid. Demikian pendapat Dawud Azh-Zhahiri, Ahmad, Al-Muzani dan Asy-Syaikh Al-Albani dari kalangan mutaakhirin. (Syarhus Sunnah 2/46, Subulus Salam 1/142, Nailul Authar 1/322, Tamamul Minnah hal. 119)

Perbedaan pendapat antara pendapat yang kedua dengan pendapat yang ketiga disebabkan perbedaan dalam memahami ayat Allah 'Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati/ mengerjakan shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (dan jangan pula) orang yang junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kalian mandi.” (An-Nisa`: 43)

Mereka yang berpendapat bolehnya orang junub masuk masjid bila hanya sekedar lewat (seperti pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan yang lainnya) memahami bahwa kata ash-shalah yang tersebut di dalam ayat
لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاَةَ (jangan kalian mendekati ash-shalah) adalah majaz (bukan makna yang sebenarnya). Sehingga di sana ada kata yang mahdzuf muqaddar (dihapus/dihilangkan yang kata tersebut bisa ditaqdirkan/ diperkirakan), yaitu مَوْضِعَ الصَّلاَةِ (tempat shalat) sehingga yang dimaksud dalam ayat ini adalah لاَ تَقْرَبُوا مَوْضِعَ الصَّلاَةِ (jangan kalian mendekati tempat shalat).

Namun bila orang yang junub sekedar lewat di tempat shalat tersebut/ masjid, maka diperkenankan karena adanya pengecualian dalam ayat:

إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ

(kecuali hanya sekedar lewat). Dan pendapat inilah yang kami pilih, wal ‘ilmu ‘indallah.

Adapun mereka yang membolehkan secara mutlak seperti pendapat madzhab Zhahiriyyah, memahami ayat tersebut sesuai dengan hakikatnya, tidak ada yang majaz dan tidak ada yang mahdzuf. Sehingga ayat


لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاَةَ

maknanya adalah (jangan kalian mengerjakan shalat). Adapun


عَابِرِي سَبِيلٍ

yang dikecualikan dalam pelarangan adalah musafir yang tidak mendapatkan air sementara ia sedang junub, maka dibolehkan baginya mengerjakan shalat dengan bertayammum walaupun ia belum mandi janabah (karena tidak ada air). (Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, bab Mamarril Junub wal Musyrik ‘alal Ardhi wa Masyihima ‘alaihima, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an 4/99-102, An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir Al-Mawardi 1/489-490, Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim 2/224-226, Fathul Qadir 1/625-627)

Faidah
Adapun bila orang yang junub itu telah berwudhu maka dibolehkan baginya berdiam di masjid. ‘Atha` rahimahullahu berkata: “Aku melihat orang-orang dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub. (Hal itu mereka lakukan) bila mereka telah berwudhu seperti wudhu untuk shalat.” Karena wudhu yang dilakukan akan meringankan janabah. Demikian pendapat dalam madzhab Al-Imam Ahmad dan selainnya. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi 1/26, Jami’ Fiqhil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah 1/230, Al-Mughni fashl Idza Tawadha`a Junub falahu Al-Lubts fil Masjid, Nailul Authar 1/322)

Perkara yang Dibolehkan bagi Seorang yang Junub

1. Berdzikir pada Allah 'Azza wa Jalla
Boleh bagi orang yang junub untuk berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla, karena Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan:

كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla pada setiap keadaannya.”5

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Hadits ini merupakan dasar dibolehkannya berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid dan dzikir-dzikir semisalnya. Hal ini boleh menurut kesepakatan kaum muslimin.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/290)

Dalam Al-Majmu’ (2/189), beliau juga menyatakan adanya kesepakatan kaum muslimin tentang bolehnya orang junub dan haid untuk bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid, bershalawat atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengucapkan dzikir-dzikir yang lainnya selain Al-Qur`an6.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menuntunkan:

مَنْ تَعَارَّ مِنَ الْلَّيْلِ فَقَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسُبْحَانَ اللهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي؛ أَوْ دَعَا، اسْتُجِيْبَ لَهُ، فَإِنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى قُبِلَتْ صَلاَتُهُ

“Siapa yang terbangun di waktu malam lalu berucap: Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nyalah kerajaan dan hanya milik-Nya lah segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, Maha Suci Allah, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Kemudian ia berkata: Ya Allah, ampunilah aku. Atau ia berdoa, niscaya akan dikabulkan doanya tersebut. Bila ia berwudhu dan shalat niscaya diterima shalatnya.”7

Dari tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, kita pahami bahwa bila seseorang hendak berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla tidaklah disyaratkan harus berwudhu terlebih dahulu. Dan tidaklah disyaratkan ia harus suci dari hadats kecil ataupun hadats besar, karena orang yang tidur kemudian terbangun bisa jadi ia dalam keadaan junub karena sebelum tidur ia jima’ dengan istrinya atau ia telah ihtilam.

2. Berjalan di jalan umum dan berjabat tangan
Tidak mengapa bagi orang junub untuk keluar dari rumahnya, berjalan di jalan umum, duduk bersama orang-orang dan berbincang-bincang dengan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi pada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Ia keluar dari rumahnya dalam keadaan junub dan berjalan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di jalanan. Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata:

لَقِيَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ، فَانْسَلَلْتُ، فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ، فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ، وَهُوَ قَائِدٌ. فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ؟ فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، يَا أَبَا هِرٍّ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu denganku ketika aku dalam keadaan junub. Beliau memegang tanganku, akupun berjalan bersama beliau sampai beliau duduk. Setelah itu aku menyelinap dengan sembunyi-sembunyi dan pulang ke rumah, lalu aku mandi, kemudian datang lagi menemui beliau yang ketika itu sedang duduk. Beliau bertanya: “Dari mana engkau tadi, wahai Aba Hirr (yakni Abu Hurairah)?” Aku menceritakan apa yang kualami. Beliau bersabda: “Subhanallah, wahai Aba Hirr!! Sungguh mukmin itu tidaklah najis.”8

Demikian halnya Hudzaifah radhiallahu 'anhu memiliki kisah yang hampir sama dengan Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berjumpa dengannya, kemudian beliau mengulurkan tangan beliau kepadanya (mengajak berjabat tangan, –pent.). Hudzaifah radhiallahu 'anhu berkata: “Aku sedang junub.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

“Sungguh seorang muslim itu tidaklah najis.”9

3. Mengakhirkan mandi janabah
Boleh bagi orang yang junub mengakhirkan mandinya (Nailul Authar 1/305). Hal ini karena adanya riwayat Ghudhaif ibnul Harits, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah radhiallahu 'anha: “Apakah engkau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi janabah di awal atau di akhir malam?” 'Aisyah radhiallahu 'anha menjawab: “Terkadang beliau mandi di awal malam dan terkadang beliau mandi di akhir malam.” Ghudhaif berkata: “Allahu Akbar! Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kelapangan dalam perkara ini.”10

Ketika men-syarah (menerangkan) hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu yang telah disebutkan di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata:

“Hadits ini menunjukkan bolehnya mengakhirkan mandi dari awal waktu diwajibkannya mandi tersebut.” (Fathul Bari 1/507)


1 HR. Muslim no. 534
2 HR. An-Nasa`i no. 2922. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa‘i dan Shahihul Jami‘ no. 3954-3956
3 Riwayat At-Tirmidzi no. 960. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Irwa‘ul Ghalil no. 1102
4 HR. Abu Dawud no. 232. Didhaifkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa‘ul Ghalil no. 124, Dha’if Al-Jami‘ush Shaghir no. 6117 dan Dha’if Sunan Abi Dawud.
5 HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam kitab Al-Adzan, bab Hal Yatatabba’ul Muadzdzin Fahu Hahuna wa Hahuna dan Muslim no. 824.
6 Karena masalah boleh tidaknya membaca Al-Qur`an bagi wanita haid dan orang yang junub diperselisihkan oleh ahlul ilmi.
7 HR. Al-Bukhari no. 1154.
8 HR. Al-Bukhari no. 285 dan Muslim no. 822.
9 HR. Abu Dawud no. 230. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud
10 HR. Abu Dawud no. 226. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/542.


www.asysyariah.com

Jika artikel ini bermanfaat yuk bantu share.

0 komentar: