Janabah [Bagian 2]

Janabah | kaf-artwork.blogspot.com

4. Membaca Al-Qur`an
Ahlul ilmi berselisih pendapat tentang boleh tidaknya seorang yang junub membaca Al-Qur`an. Mayoritas ulama dari empat madzhab (jumhur ulama) berpendapat tidak boleh. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan selain keduanya. Diriwayatkan pula pendapat ini dari Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, An-Nakha’i dan selain mereka. Al-Imam Malik berpendapat, wanita haid boleh membaca Al-Qur`an sesuai keinginannya, dan orang yang junub dibolehkan membaca dua ayat dan semisalnya. Sementara Abu Hanifah berpandangan hanya dibolehkan bila membacanya tidak sempurna satu ayat.1 (Al-Muhalla, 1/95, Al-Majmu’ 2/182, Al-Mughni kitab Ath-Thaharah Fashl Yuhramu ‘alal Junub Qira‘ah Ayah, Nailul Authar 1/317, Fatwa Lajnah Ad-Da‘imah 4/106-108, Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 10/208-211)

Adapun mereka yang melarang sama sekali bagi orang junub untuk membaca Al-Qur`an berdalil dengan hadits ‘Ali radhiallahu 'anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنَ الْخَلاَءِ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari WC, lalu beliau membaca Al-Qur`an dan makan bersama kami. Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi beliau dari Al-Qur`an kecuali janabah.”2

Namun hadits ini dhaif (lemah). Al-Imam Asy-Syaukani menyatakan hadits ini diperbincangkan keshahihannya (mutakallam fihi), dan juga dari sisi marfu’ atau mauqufnya (Nailul Authar 1/317). Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if Kutubus Sunan dan Irwa`ul Ghalil no. 485.

Mereka yang melarang juga berdalil dengan hadits:

لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

“Orang yang haid dan junub tidak boleh membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.”3

Namun hadits ini juga lemah. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 192 dan Al-Misykat no. 461 melemahkan hadits ini dan beliau katakan hadits ini mungkar dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dha’if Sunan Ibnu Majah.

Dengan demikian, tidak ada dalil shahih lagi jelas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang orang junub membaca Al-Qur`an. Al-Imam Ibnu Hazm berkata: “Membaca Al-Qur`an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya boleh dilakukan dengan berwudhu dan tanpa berwudhu terlebih dahulu, dan boleh dilakukan oleh orang yang junub dan haid. Dalil tentang hal ini adalah bahwa membaca Al-Qur`an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla merupakan amalan-amalan kebaikan yang disenangi (mandub) lagi diberi pahala bagi pelakunya. Dengan demikian, siapa saja yang mengklaim perbuatan tersebut dilarang pada keadaan tertentu, maka ia punya tanggung jawab untuk mendatangkan dalil/ keterangan.”

Beliau juga menyatakan:
“Telah datang atsar yang berisi larangan membaca Al-Qur`an bagi orang junub dan orang yang tidak berwudhu. Namun tidak ada satupun yang shahih. Kami telah menerangkan kelemahan sanad-sanadnya lebih dari satu tempat.” (Al Muhalla, 1/94-95)

Di antara ahlul ilmi yang berpendapat bolehnya orang junub membaca Al-Qur`an adalah Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pernah membaca surat Al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair, dan ini merupakan pendapat Dawud Azh-Dhahiri beserta seluruh pengikutnya (Syarhus Sunnah 2/43, Al Muhalla 1/96). Dan pendapat inilah yang penulis pegangi. Wallahu ta’ala ‘alam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

Faedah
Lebih utama seorang yang junub berwudhu terlebih dulu. Dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (2/489) ketika menerangkan hadits:

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ

“Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci/berwudhu.”4

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakruhkan (tidak suka) berdzikir pada Allah 'Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan beliau telah ber-thaharah. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur`an tanpa thaharah lebih utama lagi kemakruhannya. Maka tidak sepantasnya pendapat yang membolehkan orang yang berhadats membaca Al-Qur`an itu dimutlakkan (dibiarkan tanpa batasan tertentu) begitu saja, sebagaimana diperbuat oleh sebagian saudara-saudara kita dari kalangan ahlul hadits.”

5. Menyentuh mushaf
Jumhur ulama termasuk madzhab imam yang empat melarang orang yang junub menyentuh Al-Qur`an. Sementara kalangan ahlul ilmi yang lain berpendapat bolehnya orang yang junub menyentuh mushaf Al-Qur`an. (Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid hal. 45, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah 1/23)

Sebab perselisihan pendapat ini adalah perbedaan dalam menafsirkan ayat ke-79 dari surat Al-Waqi’ah:

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali al-muthahharun.”

Al-Muthahharun dalam ayat ini, menurut ulama yang melarang orang junub menyentuh Al-Qur`an dimaknakan dengan orang-orang yang suci dari hadats. Sementara orang yang junub tengah menanggung hadats besar sehingga tidak diperkenankan menyentuh mushaf Al-Qur`an.

Namun mayoritas mufassirin, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dhamir (kata ganti hu bentuk nashab dari huwa) yang terdapat dalam firman Allah


لاَ يَمَسُّهُ
adalah kitab yang terjaga/ terpelihara (kitabun maknun di Lauh Mahfuzh) yang berada di langit, sedangkan

الْمُطَهَّرُوْنَ
adalah para malaikat. (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an 11/ 659-660, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 17/146, Ma’alimut Tanzil 4/262, Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal 1358-1359 dan yang lainnya)

Hal ini dipahami dari ayat sebelumnya:

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُوْنٍ. لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ

“Sesungguhnya dia adalah qur`an/bacaan yang mulia dalam kitab yang terjaga/terpelihara, tidak ada yang menyentuhnya kecuali al-muthahharun.” (Al-Waqi’ah: 77-79)

Dikuatkan lagi dengan ayat Allah 'Azza wa Jalla:

فِيْ صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ. مَرْفُوْعَةٍ مُطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِي سَفَرَةٍ. كِرَامٍ بَرَرَةٍ

“Di dalam kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para malaikat yang mulia lagi berbakti.” (‘Abasa: 13-16)

Adapula yang memaknakan al-muthahharun dengan kaum mukminin, dengan dalil firman Allah 'Azza wa Jalla:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.”

Bila musyrikin dan kafirin itu najis berarti kaum mukminin suci, dan tidak ada yang boleh menyentuh Al-Qur`an kecuali mukminin, yaitu orang-orang yang beriman. Kesucian mukminin ini juga ditunjukkan dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu yang menghindar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena sedang ditimpa janabah:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

“Sesungguhnya mukmin itu tidaklah najis.”5

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu dalam tafsirnya terhadap ayat dalam surat Al-Waqi’ah tersebut, menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan adalah shuhuf (lembaran) yang ada di tangan para malaikat. Beliau menolak pendapat yang memaknakan al-muthahharun dengan kaum mukminin. Dengan alasan, bila yang dimaksud dalam ayat adalah kaum mukminin yang telah berwudhu (bersuci/ berthaharah), niscaya Allah 'Azza wa Jalla akan menyatakan dengan lafadz:


لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُتَطَهَّرُوْنَ
, sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri/ berthaharah.” (Al-Baqarah: 251) [At-Tafsirul Qayyim, hal. 482-483]

Mereka yang melarang seorang yang junub untuk menyentuh mushaf juga berdalil dengan hadits:

لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur`an kecuali thahir.”6

Akan tetapi kata thahir pada hadits ini merupakan lafadz musytarak (berserikat). Selain bisa dimaknakan sebagai orang yang thahir/ suci dari hadats besar, bisa pula suci dari hadats kecil, juga bisa dimaknakan seorang mukmin dan orang yang tidak ada najis pada tubuhnya. (Nailul Authar 1/292)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata:
“Yang lebih dekat maknanya –wallahu a’lam– bahwasanya yang dimaksud dengan thahir dalam hadits ini adalah seorang mukmin, baik ia berhadats besar, kecil atau ia haid atau pada tubuhnya ada najis. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:


إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
yang disepakati keshahihannya, dan yang dimaukan (dengan hadits لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ ) adalah tidak diperkenankannya seorang musyrik untuk menyentuh mushaf.

Sama halnya dengan hadits yang juga disepakati keshahihahnya:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُسَافِرَ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang safar/ bepergian ke negeri musuh dengan membawa Al-Qur`an.”7 (Tamamul Minnah, hal. 107)

Dan lebih utama bagi seseorang yang ingin menyentuh mushaf –apabila memudahkan baginya– untuk berwudhu terlebih dahulu, wallahu a’lam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 1/117)

Al-Imam Ishaq Al-Marwazi berkata dalam Masa`il Al-Imam Ahmad: “Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad: Apakah boleh seseorang membaca Al-Qur`an dalam keadaan tidak berwudhu? Beliau menjawab: ‘Boleh, akan tetapi jangan ia membaca dari mushaf selama ia tidak berwudhu.’ Al-Imam Ishaq bin Rahawaih pun berkata sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ahmad. Dan demikian pula perbuatan shahabat Nabi dan tabi’in, sebagaimana riwayat yang shahih dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata: ‘Aku memegang mushaf di sisi Sa’d, lalu aku menggaruk tubuhku. Melihat hal itu berkatalah Sa’d: ‘Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab: ‘Iya.’ Sa’d berkata: ‘Bangkit dan berwudhulah.’ Aku pun bangkit dan berwudhu, lalu aku kembali. (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Diriwayatkan oleh Malik dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih.”) [dinukil dari Al-Irwa`, 1/161]

Faedah
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata:

“Adapun menyentuh mushaf maka atsar/ hadits yang dijadikan hujjah oleh mereka yang tidak membolehkan orang yang junub menyentuhnya, atsar/ haditsnya tidak ada satupun yang shahih. Karena haditsnya ada yang mursal, ataupun karena shahifah (lembaran yang berisi hadits-hadits) yang tidak bisa dijadikan sandaran, ataupun diriwayatkan dari rawi yang majhul, ataupun dha’if.” (Al-Muhalla 1/97)

Perkara yang Disenangi untuk Dilakukan Seorang yang Junub

1. Wudhu sebelum tidur dan sebelum makan. Bila seseorang yang junub belum sempat mandi atau ingin menunda mandinya sementara ia hendak tidur, maka disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu. Hal ini dipahami dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhu ketika ia mengisahkan tentang ayahnya ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu yang junub pada suatu malam, lalu ‘Umar menyebutkan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pun bersabda:

تَوَضَّأْ، وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ، ثُمَّ نَمْ

“Berwudhulah dan (sebelumnya) cucilah kemaluanmu, kemudian baru engkau tidur.”8

Demikian pula ketika orang yang junub tersebut hendak makan dan minum, disenangi baginya untuk berwudhu, demikian kesepakatan ulama (Al-Majmu’ 2/178, Ar-Raudhul Murbi’ 1/63, Subulus Salam 1/138, Nailul Authar 1/304, Asy-Syarhul Mumti’ 1/238), sebagaimana ditunjukkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disebutkan Aisyah radhiallahu 'anha:

كاَنَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيِهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَّأْكُلَ أَوْ يَنَامَ، تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ

“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila beliau junubkemudian hendak makan atau tidur, beliau berwudhu seperti wudhunya untuk mengerjakan shalat.”9

Wudhu dalam keadaan ini hukumnya sunnah/mustahab, menurut pendapat jumhur ulama. Dan inilah pendapat yang rajih insya Allah 'Azza wa Jalla, menyelisihi pendapat ahlu zhahir yang mewajibkan wudhu ketika seorang yang junub hendak tidur. (Fathul Bari 1/511, Al-Minhaj 3/208-209, Subulus Salam 1/138, Nailul Authar 1/303, Asy-Syarhul Mumti’ 1/239, Taudhihul Ahkam 1/393)

2. Wudhu ketika hendak mengulangi jima’. Seseorang yang sudah ditimpa janabah karena usai “berhubungan intim” dengan istrinya, kemudian ia hendak mengulangi “hubungan” tersebut untuk kedua kalinya ataupun kesekian kalinya, maka disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu seperti wudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. (Al-Majmu’ 2/178, Nailul Authar 1/305, Asy-Syarhul Mumti’ 1/240, Taudhihul Ahkam 1/392)

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يعُوْدَ، فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوْءً

“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (jima’), kemudian ia hendak mengulang hubungan tersebut, maka hendaklah ia berwudhu dengan satu kali wudhu di antara keduanya (antara jima’ yang pertama dengan jima’ yang kedua, –pent.).”10

Hadits di atas disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk perintah, dan hukum asal perintah itu wajib. Namun hukum wajib ini dipalingkan, karena adanya tambahan lafadz yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/152):

إِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ

“Karena dengan berwudhu akan menyemangatkan pengulangan tersebut.”11

Dengan adanya lafadz ini, maka wudhu ketika hendak mengulangi jima’ tidaklah wajib. Namun ini hanyalah anjuran dan bimbingan agar menyemangatkan pengulangan tersebut. (Fathul Bari 1/486, Asy-Syarhul Mumti’ 1/240)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.


1 Al-Imam Ibnu Hazm menyatakan bahwa semua pendapat ini salah, karena tidak didukung oleh dalil dari Al-Qur`an, tidak pula dari As-Sunnah baik yang shahih ataupun dhaif, tidak ada pula ijma’, ataupun ucapan shahabat ataupun dari qiyas. Karena sebagian ataupun satu ayat adalah bagian dari Al-Qur`an juga tanpa diragukan, lalu mengapa ada pembedaan satu ayat boleh sedangkan lebih dari satu ayat tidak boleh? Demikian pula pembedaan yang mereka lakukan antara wanita haid dengan orang junub. Wanita haid boleh membaca Al-Qur`an dengan alasan masa haid itu panjang. Perkara ini mustahil karena bila baca Al-Qur`an itu haram bagi wanita haid maka tidak dibolehkan baginya membacanya sepanjang masa haidnya. Sedangkan bila baca Al-Qur`an halal baginya maka tidak ada maknanya berhujjah dengan panjangnya masa haid. (Al-Muhalla 1/95)
2 HR. An-Nasa`i no. 260, Abu Dawud no. 229 dan yang lainnya.
3 HR. At-Tirmidzi no. 131 dan Ibnu Majah no. 595, 596.
4 HR. Abu Dawud no. 17. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani, Ash-Shahihah no. 834
5 Telah disebutkan haditsnya secara lengkap.
6 HR. Al-Atsram dan Ad-Daraquthni secara muttashil, dan Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` secara mursal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 122.
7 HR. Al-Bukhari no. 2990 dan Muslim no. 4816.
8 HR. Al-Bukhari no. 290 dan Muslim no. 702.
9 HR. Muslim no. 689.
10 HR. Muslim no. 705.
11 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 263


www.asysyariah.com

Jika artikel ini bermanfaat yuk bantu share.

0 komentar: